Bacaan I : Yes. 2:1-5;

Mzm. 122:1-2,4-5,6-7,8-9;

Bacaan II : Rm. 13:11-14a;

Injil Matius 24:37-44.

 

 

Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.”

 

Sebagian besar dari kita mungkin takut ketika mendengarkan perikop Injil ini. Itu seperti pemberitahuan atau peringatan; dan kedatangan Tuhan dapat dibayangkan sebagai hari yang mengerikan, yang akan membawa serta penghakiman dan kematian yang menyeramkan. Namun, Yesus tidak bermaksud menakut-nakuti siapa pun. Dia hanya ingin bahwa nanti bila Dia datang kembali, masih ada “iman di bumi” (Luk 18:8), dan masih ada banyak orang yang menunggu Dia.

 

Saya membayangkan ketika seorang putra yang merantau, sedang dalam perjalanan pulang kembali ke kampung halamannya. Dia mengharapkan orang-orang menunggu untuk menyambutnya kembali, dan kemudian merawatnya. Tentu saja, mereka tidak bermaksud hanya duduk di satu tempat untuk menunggunya. Tapi setidaknya, ketika dia tiba, meski di mana pun mereka berada, apa pun yang sedang mereka lakukan, mereka akan menyambut untuk memeluknya, menyapanya, bersamanya mengingat akan cerita-cerita lama, dan bersedia mendengarkan kisah perjalanan panjangnya.

 

Demikian juga, itu seharusnya terjadi ketika hari kedatangan Tuhan. “berjaga-jaga” tidak berarti tidak tidur, hanya duduk, atau membuka mata. “berjaga-jaga” adalah status menunggu, mengharapkan, dan menantikan seseorang atau sesuatu. Itu adalah saat-saat dimana kita tidak ingin tertidur karena kita ingin segera melihat orang yang kita nantikan itu, saat ketika dia tiba. Terutama, di sini, kita sedang menunggu Dia yang akan membawa cahaya abadi dan kemuliaan bersama-Nya dan Dia dengan penuh belas kasih akan menyinari semua orang yang pantas menerimanya. Jadi, “berjaga-jaga” berarti selalu siap, dan siap sedia bagi Dia yang akan datang.

 

Karena Dia Yang akan datang adalah terang, kita harus menjaga jiwa kita dari kegelapan dan kecemburuan, kesombongan, keegoisan, ketidakadilan, serta kebencian. Agar ketika Terang itu datang, kita tidak akan dihalau bersama oleh kegelapan. Karena Dia Yang akan membawa kehidupan baru ke muka bumi ini, telah merasakan kematian-Nya yang paling hina, kita juga harus merasakannya. Untuk mengantisipasi dan memperoleh hidup baru itu, yaitu agar sesuai dengan kerajaan Allah yang akan datang, kita harus mati atas keinginan dan kehendak kita sendiri.

 

Mari kita menantikan hari Natal, bukan karena perayaan serta pestanya yang mewah, bukan pula hadiah materi atau yang lain, melainkan menantikan Tuhan, Yang Maha Pengasih. Dan, oleh karena itu, janganlah kita menyambut hari itu dengan kekhawatiran serta ketakutan, tetapi dengan harapan dan kegembiraan jiwa kita yang telah dipersiapkan dengan baik.

Berbahagialah kita yang menderita dan memikul salib karena kita dianugerahi anugerah yang cuma-cuma untuk mencicipi apa yang dicicipi Putra Allah 2000 tahun yang lalu dan bahkan sampai sekarang, setiap hari hadir di altar.

 

Refleksi oleh: Mary Nguyen Thi Thuy

Alih Bahasa oleh : Bp Theo Atmadi OP