SIAPAKAH YANG TERBESAR?
Ketika merenungkan Injil ini, muncullah sebuah pertanyaan: mengapa Yesus menjadikan seorang anak kecil sebagai contoh bagi kita?
Injil Markus menceritakan kepada kita tentang perjalanan mereka menuju Yerusalem, murid-murid Yesus bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Sepanjang perjalanan, murid-murid Yesus menolak-Nya, dan mereka terus bertengkar tentang posisi kekuasaan; tetapi Yesus tahu tentang kekhawatiran mereka. Ketika mereka tiba, Yesus mengambil seorang anak kecil dan memberi tahu mereka siapa yang memiliki otoritas tanpa kedudukan dalam masyarakat. Kemudian Yesus menjawab lagi, sekarang dalam bentuk yang tampak seperti yang telah Yesus katakan kepada mereka sebelumnya. Dia akan melepaskan semua yang mereka berikan dengan sopan, konsekuensi dari firman.
Seperti itulah kebiasaan kita manusia. Tidak seorang pun ingin menjadi kecil, agar bisa melayani yang lain. Itu adalah perilaku alami. Itu menjadi pelajaran yang diturunkan dari generasi ke generasi. Kita masih mempraktikkannya dalam kehidupan kita, di dunia, negara, dan masyarakat. Yang penting adalah bahwa Yesus mengambil seorang anak kecil, sebagai contoh agar bisa masuk ke dalam hati kita, untuk merenungkan diri kita sendiri dan mengubah diri kita menjadi seperti anak-anak yang tidak bersalah. Mereka mengatakan semua itu benar.
Seperti yang kita lihat selama kunjungan Paus Fransiskus di Asia dan Oseania terutama di Timor-Leste, ia menekankan indahnya seni pelayanan. “Mereka yang memiliki kekuatan untuk memerintah harusnya tidak melupakan dari mana mereka berasal?” – Dan dia juga menaruh perhatiannya, terutama kepada anak-anak. Dia menyebut bahwa dia tidak akan pernah melupakan senyum anak-anak. Dia dapat melihat kegembiraan anak-anak di wajah mereka yang tidak bersalah dengan masa depan yang cerah.
Yesus mengambil seorang anak kecil dan menunjukkan kepada kita bahwa kita dapat masuk lebih dalam ke hati kita untuk merenungkan dan mengubah diri kita sendiri, sebagai mereka yang selalu ingin berkuasa. Dalam surat Santo Paulus kepada jemaat di Filipi 2:4-11, Yesus menganggap diri seperti orang biasa meskipun dia adalah anak Tuhan. Ia menjadi manusia, dan Ia pergi bersama orang-orang yang sakit karena Ia menganggap kita semua sama, karena kita adalah gambar Allah.
Seperti anak-anak, marilah kita belajar untuk hanya bergantung pada Allah dan untuk tetap rendah hati, sederhana, dan gembira meskipun semua keadaan yang kita hadapi dalam hidup.
Renungan Oleh: Joanita de Carvalho
Recent Comments