Refleksi Minggu keempat Prapaskah

Renungan Minggu Keempat Prapaskah 27 Maret 2021

Bacaan I: Yosua 5:9a, 10–12 Mazmur: 34:2–3, 4-5, 6–7

Bacaan II: 2 Korintus 5:17–21

Injil: Lukas 15:1–3, 11–32

Pada hari Minggu ini, Gereja terus menggunakan “senjata ampuh” dari perbendaharaan Alkitabnya. Mungkin perlu diingatkan kepada diri kita sendiri bahwa, tujuan utama Gereja mengutip bacaan-bacaan Perjanjian Lama bukanlah untuk menarik hubungan langsung dengan bacaan-bacaan Injil, melainkan untuk mengingatkan kita dari drama sejarah keselamatan, khususnya pada hari-hari Minggu selama masa Prapaskah.

Selama perjalanan Prapaskah ini, kita telah menerima peristiwa indah dari semua hal baik yang telah Tuhan lakukan bagi umat-Nya selama berabad-abad. Kita telah terus-menerus diingatkan bahwa sama seperti halnya Allah membebaskan umat Israel dari perbudakan mereka di Mesir, demikian pula sekarang dengan kedatangan Kristus, Dia telah memilih untuk membebaskan kita dari perbudakan rohani kita terhadap dosa. Dalam bacaan kedua, St. Paulus memberitahu kita, “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2 Kor 5:17).

Dalam perumpamaan terkenal tentang anak yang hilang, kita melihat dalam praktiknya, seperti apakah ini; sebagai anak yang lebih muda bertobat dari cara jahatnya dan kemudian dipulihkan oleh Bapa yang berbelas kasih. Sangat menyentuh untuk dicatat bagaimana perikop itu menggambarkan bagaimana ayah pemuda itu secara aktif berjaga-jaga, karena sangat merindukan kembalinya sang putra yang bandel, sedemikian rupa sehingga “ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya  oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.” (Lukas 15:20). Sang ayah datang berlari kepadanya, dan demikianlah Kristus juga melakukan hal yang sama bagi kita.

Tapi mungkin kita tidak bisa benar-benar menjalin hubungan sedemikian; mungkin kita dibesarkan dengan buaian sebagai orang Katolik, dan kita selalu melihat diri kita lebih, seperti halnya si anak sulung; bahkan mungkin kita bisa bersimpati kepada anak sulung atas kemarahannya. Bila demikian, ini akan menjadi kesalahan dalam menafsirkan kutipan Injil ini.

Apa yang Yesus undang agar kita hargai adalah bahwa ada unsur anak laki-laki — lebih tua dan lebih muda — dalam diri kita masing-masing. Karena bahkan jika kita melihat diri kita sebagai anak sulung, mungkin sebagai seseorang yang telah menghabiskan sebagian besar hidup di jalan yang “lurus dan sempit”, kenyataannya adalah bahwa kita semua memang orang berdosa, dan dalam hal ini kita semua dipanggil untuk menjadi seperti anak bungsu: penerima rahmat Tuhan yang tak henti-hentinya bersyukur.

Bagaimanakah saya dapat menjadikan Sakramen Pengakuan Dosa sebagai bagian yang lebih menyatu dalam hidup saya pada masa Prapaskah ini?

 

Renungan dari buku Journey Through Lent, Reflections on theDaily Mass Readings by Clement Harrold