Betapa Sulitnya Mengenali Yesus yang Telah Bangkit

 

Pada penampakan pertama Yesus setelah misteri Paskah-Nya, Dia menampakkan diri-Nya kepada beberapa tokoh. Namun, tidak satu pun dari mereka yang langsung mengenali-Nya. Kisah paling awal mengenai Maria Magdalena, yang, ketika Yesus berdiri di belakangnya dan berbicara kepadanya, tidak dapat langsung mengenali bahwa itu adalah Yesus sendiri. Sebaliknya, dia mengira Dia adalah seorang tukang kebun sampai Dia memanggil namanya (Yoh. 20:11-18).

 

Demikian pula, dua murid yang bertemu Yesus dalam perjalanan ke Emaus tidak dapat mengenali Dia sebagai Yesus bahkan setelah berdiskusi dengan-Nya selama perjalanan panjang mereka. Mereka melihat Dia sebagai orang asing, dan baru menyadari bahwa itu adalah Yesus ketika Dia memecahkan roti (Luk. 24:13-35).

 

Hal yang sama terjadi pada murid-murid lainnya, seperti yang kita lihat dalam Injil hari ini ketika Yesus yang telah bangkit menampakkan diri kepada mereka di Yerusalem. Terlepas dari semua yang telah Yesus lakukan dan prediksikan tentang kematian dan kebangkitan-Nya setelah tiga hari, mereka terkejut dan ketakutan. Mereka bahkan mengira Dia adalah hantu, bukannya menyambut Dia dengan sukacita (Luk. 24:36-38).

 

Keheranan dan lambatnya pengenalan terhadap Yesus setelah kebangkitan-Nya mungkin disebabkan oleh perubahan yang kontras antara Yesus sendiri dan murid-murid-Nya. Yesus telah berubah setelah kematian-Nya, sementara iman murid-murid-Nya menurun drastis. Di saat-saat kegelapan atau keraguan dalam hidup dan keyakinan, kita sering menjumpai transformasi akhir dari Yang Ilahi dalam wujud manusia. Berkali-kali, Tuhan memperkenalkan diri-Nya kepada kita, namun kita tidak dapat mengenali-Nya sampai Dia membuktikan diri-Nya dengan cara yang familiar atau meyakinkan yang sesuai dengan kelemahan manusiawi kita. Dengan kata lain, Tuhanlah yang memilih merendahkan diri-Nya untuk mengungkapkan Firman-Nya dalam bentuk yang paling manusiawi untuk memenuhi kebutuhan kita dan menghilangkan keraguan kita.

 

Demikian pula, dalam perjumpaan kita sehari-hari dengan orang lain, mereka yang mengalami transformasi bisa tampak asing bagi mereka yang keyakinan dan pola pikirnya tetap kaku atau dibatasi oleh cara berpikirnya sendiri. Terkadang, kita mengharapkan sesama manusia untuk membuktikan diri mereka dengan cara yang sama ketika perubahan yang kita saksikan tidak sesuai dengan harapan kita. Kita hanya berfokus pada titik terendah dari kegagalan orang lain dan bukan pada tahap baru dimana mereka telah berusaha keras. Bahkan ketika orang lain mencoba mengatakan yang sebenarnya kepada kita, kita mungkin tidak menerimanya hanya karena pengalaman mereka berbeda dengan pengalaman kita. Tuhan yang mereka lihat tidak menyerupai Tuhan yang kita kenal atau bayangkan.

 

Hal ini juga berlaku bagi kita ketika kita diharapkan untuk menghayati kebenaran dan menjadi saksi Gereja kita. Kadang-kadang, meskipun kita berpegang teguh pada kebenaran, kita malah mengalami ketakutan dan prasangka, bukannya rasa senang. Karena ketakutan ini, kita lebih memilih untuk tetap terheran-heran dalam zona nyaman kita daripada memiliki keberanian dan tanggung jawab untuk mewartakan atau membagikan kebenaran yang telah kita sadari.

 

Bagaimana kita bisa menghadapi kenyataan pengakuan dan realisasi diri ini? St John Henry Newman pernah berkata bahwa hanya ketika kita melihat kembali kehidupan kita, kita menjadi sadar betapa Tuhan selalu menyertai kita. Seperti disebutkan dalam contoh sebelumnya, Yesus mengingatkan murid-murid-Nya akan perkataan dan tindakan-Nya sebelum menerangi mereka dengan semangat baru-Nya.

 

Oleh karena itu, marilah kita sering bertanya pada diri sendiri, merindukan kebenaran dan mencari klarifikasi dari Cahaya sejati, bahkan di saat ragu. Biarkan Cahaya itu menerangi orang lain melalui kita, tanpa rasa takut. Kebenaran hanya akan berbuah bila kita menghayatinya secara otentik dan didampingi oleh Roh Kudus yang dipercayakan Tuhan untuk menjaga sumber Cahaya di bumi setelah kenaikan Yesus. Pada saat yang sama, marilah kita sering kembali kepada Tuhan, mengakui bahwa Dia selalu bersama kita, terutama pada saat hati kita berkobar dengan kasih-Nya.

 

 

Refleksi oleh Marie Nyugen Thi Nhiem